Jumat, 17 September 2010

MARTHINUS MANOI, SH: Mereka Tidak Tahu, Kalau Mereka Tidak Tahu

Oleh: Dirno Kaghoo

Siapa yang tidak kenal pria berwibawa yang satu ini. Martinus Manoi, SH adalah putra asli ondong siau. Memulai karier dari jabatan selaku jaksa yang ditempatkan di papua pada masa pemerintahan presiden soeharto. Prestasi demi prestasi dicetak pria penyabar ini. Dirinya bekerja sepanjang 20 tahun di kejaksaan agung kemudian dipindahtugaskan ke Kalimantan untuk menyelesaikan berbagai kasus disana. Alhasil semua dapat dituntaskan tanpa masalah.

Dari pengalamannya, beliau banyak belajar tentang karakter manusia. Ayah kandung Budi Manoi ini mengatakan, perilaku manusia dapat dibaca dari tiga jenis karakter diri, pertama, ada orang yang merasa diri tahu kalau dirinya tahu tentang sesuatu, kedua, ada juga yang merasa diri tahu kalau dirinya tidak tahu tentang sesuatu, tetapi yang lebih parah adalah yang ketiga yaitu orang yang tidak tahu kalau dirinya tidak tahu. Jenis karakter ketiga ini yang banyak kali menghinggapi mental pejabat yang sarat KKN.

Pria yang dikenal sangat memperhatikan putra-putri Sangihe itu menuturkan kisahnya ketika pertama kali hidup di Jakarta. Beliau dan isteri setianya, menempati sebuah lokasi rawa di bilangan Warakas Tanjung Priok yang kala itu masih belum berwajah seperti saat ini. Dengan menggunakan kendaraan sepeda motor Honda-nya, setiap pagi ia berangkat ke kantor di Jakarta pusat. Setiap sore kegiatannya dilanjutkan dengan mengumpulkan batu-batu dan pasir di sekitar rawa sehingga lama-kelamaan batu dan pasir itu menumpuk dan dapat dibangun rumah yang terbuat tempat tinggal hingga saat ini.

Belajar dari pengalamannya ini, beberapa warga Siau yang juga ikut menempati lokasi tersebut diajak cara hidup bergotong-royong versi pak Manoi. Akhirnya terbentuklah kemudian kerukunan keluarga yang dibangun berdasarkan ikatan solidaritas para partisan yang juga menjalar kepada penduduk non siau di Warakas. Teladan yang dilakukan Pak Manoi dan keluarganya menjadi insipirasi bagi setiap pendatang yang menempati lokasi tempat tinggal yang sama dan memiliki semangat yang sama untuk membangun persekutuan berjemaat.

Dalam melakukan pekerjaannya, yang paling berkesan selama hidupnya, adalah pekerjaan menangani kasus bea cukai lantaran beliau sangat menguasai peraturan tentang penyelundupan. Dirinya memiliki jaringan informan di setiap tempat di beberapa Negara dan pelabuhan. Informasi yang dikumpulkan dari para informannya bermanfaat bagi kelancaran tugasnya. Upaya penangkapan barang-barang selundupan dalam jumlah besar telah diatur dalam regulasi yang berlaku. Tetapi pak Manoi, demikian sapaan akrab di lingkaran satuan tugasnya dikenal sebagai orang yang tak mau menikmati sendiri hasil pekerjaannya. Jasa yang diperoleh dari hasil penangkapan barang-barang penyelundupan tersebut dibagi rata pada semua orang yang bekerja di kantornya. Sikap seperti itu membuat dirinya banyak disukai para bawahan maupun atasan di lingkungan pekerjaan putra tulen Siau itu.

Asal-Usul Manusia Sangihe Talaud

Oleh : Iverdixon Tinungki


Peta genetika yang kini terbuka luas, setidaknya memberikan cukup sinar atas tabir rahasia sebuah pertanyaan besar: Dari manakah nenek moyang kita berasal? Dari manakah kita datang? Meskipun masih menyisakan sejumlah teka-teki, tapi dibanding masa sebelumnya, dunia antropologi saat ini melakukan lompatan besar dalam menyusun peta genetis yang menjelaskan mata rantai persebaran umat manusia di suluruh bumi. Penjelasan-penjelasan yang lebih ilmiah ini mulai menggeser keyakinan klan-klan umat manusia diberbagai tempat akan cerita ke-asal-an manusia yang bersumber dari mite dan legenda.

Seperti klan lain di Indonesia, orang Sangihe Talaud sebagai sebuah indigenous, dalam kurun ribuan tahun hidup dalam mite dan legenda tersendiri, yang pada akhirnya melahirkan system nilai dalam kehidupan mereka. Tapi apakah dengan demikian membedakan ke-asal-an etnik ini dengan suku bangsa lain di jazirah Nusantara? Kajian antropologi kebudayaan pada masa sebelumnya menjelaskan orang Sangihe Talaud merupakan rumpun manusia berbahasa Milanesia yang berasal dari migrasi Asia pada 40.000 tahun SM. Kemudian disusul pada masa yang lebih muda sekitar 3.000 tahun SM dari Formosa yang berbahasa Austronesia. Penemuan terbaru yang lebih mengejutkan yang berhasil mematahkan terori linguistic di atas, adalah adanya kemungkinan nenek moyang suluruh klan di Indonesia berasal dari Nias-Mentawai, dengan ciri gen dari masa yang lebih tua sebelum migrasi Formosa.
Agak berbeda dengan sejumlah anasir antropologi kebudayaan, hasil peneletian gen manusia saat ini memberikan cerita tentang pengembaraan panjang leluhur manusia di seluruh dunia yang disebut berasal dari Afrika sejak 50.000 tahun silam yang berekspansi ke Eurasia. Perhitungan para paleoantropolog dan pakar genetika menyebutkan homo sapiens ini berasal dari 200.000 tahun silam dan berhasil mengembangkan keturunan sebanyak enam setengah miliar jiwa. Hal ini dibuktikan dengan pemetaan gen yang menunjukkan 99,9 persen kesamaan kode-kode genetika atau genom manusia di seluruh dunia. Sisanya 1 persen hanya menegaskan perbedaan individual seperti warna mata atau resiko penyakit. Perjalanan panjang itu pun telah membawa sejumlah perubahan lain seperti mutasi neurologist yang menciptakan perbedaan bahasa lisan dan juga sebuah perubahan wajah dan ras baru.

Lalu, benarkah setiap manusia yang pernah hidup di bumi berasal dari seorang ibu Hawa Mitokondrial dan ayah Adam Kromosom Y yang hidup pada 150.000 tahun silam di Afrika? Pertanyaan ini masih membuahkan kegelisahan para ahli untuk mengungkap jawaban yang memuaskan. Yang pasti sejumlah artefak masa lalu, menunjukkan adanya migrasi umat manusia dari suatu tempat ketempat yang lain. Dan setiap klan atau etnik telah hidup dalam milenia pada sebuah tempat hingga mengalami sujumlah mutasi budaya dan tunduk pada masing-masing dewa serta melahirkan mite-mite baru dalam kehidupan kelompok masing-masing.

Bila masuk lebih dalam menelisik aneka budaya lisan di masyarakat Sangihe Talaud, kita dipertemu dengan cerita jejak nenek moyang lebih unik dan menarik seperti pengakuan adanya para pendatang (homo sapiens) yang dalam bahasa setempat disebut sebagai Ampuang (manusia biasa). Selain para pendatang ini juga ada dua jenis manusia lain yang telah ada di sana dari masa sebelumnya yaitu Ansuang (raksasa) dan Apapuhang (manusia kerdil). Untuk dua jenis manusia terakhir itu, hingga kini belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Rujukkan terhadap keberadaan mereka masih terbatas pada kepercayaan adanya beberapa artefak seperti bekas kaki dalam ukuran besar yang terpahat di bebatuan yang bisa saja tercipta akibat fenomena alam.

Apakah mereka merupakan penyimpangan genetika pada masa itu kemudian diabadikan dalam sejumlah mite dan legenda? Ini masih sebuah pertanyaan. Sejumlah legenda pun ikut memperkaya kesimpangsiuran jejak asal muasal manusia Sangihe Talaud. Dari kepercayaan turun-temurun. Pulau-pulau Sangihe Talaud konon tercipta dari air mata seorang bidadari. Dari bidadari inilah manusia Sangihe dilahirkan. Ini sebabnya nama Sangihe itu berasal dari kata Sangi (tagis}. Di pulau-pulaud Talaud, penyebutan Porodisa untuk kawasan itu justru dikaitkan dengan anggapan dimana manusia Talaud adalah keturunan Wando Ruata, yaitu seorang manusia gaib yang berasal dari Surga. Padahal kata Porodisa menurut teori linguistic justru merupakan mutasi neurologist bahasa lisan dari bahasa Spanyol: Paradiso (surga). Kata Sangi di Sangihe sendiri merupakan mutasi dari kata Melayu: tangis.

Mite lainnya bercerita tentang manusia yang berasal dari telur buaya. Ada juga yang beranggapan terjadi dari evolusi pelepah pisang secara mistis menjadi manusia.
Kepercayaan terhadap dewa dewi dan system nilai budaya orang Sangihe Talaud ini menujukan adanya persinggung dengan system nilai di tempat lain seperti teori keseimbangan alam, memiliki kesamaan dengan teori Fun She dan Esho Funi dalam pemahaman Hindu kuno. Kepercayaan “Manna” atau kepercayaan terhadap adanya kekuatan mekanis dalam alam yang mempengaruhi peri kehidupan manusia, bukan tidak mungkin merupakan interpretasi lain akibat mutasi dari pemahaman kaum semitik akan Tuhan. Demikian pula dengan budaya ritual persembahan kurban yang mengunakan symbol darah Manusia yang di pukul sampai mati.

Manusia Sangihe Talaud sejak masa purba, juga mengakui adanya zat suci pencipta alam semesta dan manusia yang di sebut “Doeata,Ruata”, juga dinamakan ”Ghenggona”. Di bawahnya, bertahta banyak roh Ompung (Roh penguasa laut), dan Empung (roh penguasa daratan). Dewa-dewi ini berhadirat di gunung dan lembah-lembah, di laut, di sehamparan karang. Di cerocok dan tanjung. Di pohon, dan dalam angin. Di cahya, bahkan bisikan bayu. Di segala tempat, ruang, dan suasana. Kendati begitu, eksplorasi yang lebih ilmiah terhadap asal usul manusia Sangihe Talaud, yang telah ada saat ini baru sebatas dari masa abad ke 14. Bermula pada periode Migrasi Kerajaan Bowontehu 1399-1500. Disusul periode Kerajaan Manado 1500-1678. Dan terakhir periode kerajaan-kerajaan Sangihe Talaud dari 1425-1951.

Gumansalangi (Upung Dellu) sebagai Kulano tertua kerajaan Tabukan atau Tampunglawo, yang bermukim di gunung Sahendarumang bersama Ondoasa (Sangiang Killa), istrinya, adalah anak dari Humansandulage bersama istrinya Tendensehiwu, yang mendarat di Bowontehu pada awal mula migrasi Bowontehu, Desember 1399. Mereka melakukan pelayaran dari Molibagu melalui Pulau Ruang, Tagulandang, Biaro, Siau terus ke Mangindano (Mindanau-Filipina), kemudian balik ke pulau Sangir – Kauhis dan mendaki gunung Sahendarumang, dimana mereka dan para pengikut mendirikan kerajaan Tampunglawo sebagai kerajaan tertua di Tabukan, yang pada periode kemudian melebar hingga ke seluruh kawasan kepulauan Sangihe dan Talaud.

Sementara Bulango bermigrasi dari Bowontehu pada 1570 menuju Tagulandang dimana anaknya bernama ratu Lohoraung mendirikan kerajaan Tagulandang di pulau itu bersama para pengikutnya. Bulango adalah saudara dari Lokongbanua II, raja pertama kerajaan Siau. Keduanya adalah anak dari raja Mokodoludut dengan istrinya Abunia dari kerajaan Bowontehu. Sedangkan Raja Bolaang Mangondow pertama, Yayubongkai, adalah juga putra Mokoduludut. Ini sebabnya ada kesamaan budaya dan marga antara orang Bolaang Mangondow dan orang Sangihe Talaud. Perubahan budaya di kedua etnik ini lebih dipengaruhi oleh alkulturasi pasca masuknya agama-agama semitik, (Kristen-Islam) di kedua kawasan etnik itu. Untuk wilayah Kauhis-Manganitu, semuanya berasal dari keturunan Gumansalangi hingga keturunannya bernama Tolosang pada 1600 mendirikan kerajaan Kauhis- Manganitu. Demikian pula di Tahuna pada 1580 Tatehe Woba mendirikan kerajaan di sana, juga di Kendahe yang didirikan oleh Mehegelangi. Raja Kendahe ini anak dari Syarif Mansur dan istrinya Taupanglawo. Sebelum periode migrasi Bowontehu (Manado Tua) pada 1399, kawasan itu telah dihuni manusia selama enam generasi. Tapi hal terpenting dalam hubungan kekeluargaan oranga Sangihe Talaud dan Bolang Mangondow, dipercaya karena berasal dari Migrasi Bowontehu.

KISAH AWAL PEMERINTAHAN KEDATUAN SIAU

Oleh: Max Sudirno Kaghoo

Madolangi yg hidup pada abad ke 13, seorang pengajar kearifan tradisi laut setelah melakukan perjalanan laut ia mendirikan kedatuan di Molibagu (Bolmong). Madolangi mempunyai cucu bernama Mokoduludugh menikah dengan putri Tonaas Wangko Pinontoan yg bernama Baunia. Mereka kemudian menjadi rumpun keluarga yg disebut sebagai "balagheng" atau "balagheng nusalawo" menetap di molibagu kemudian pindah ke bawah kaki gunung Lokon tempat yg bernama "Malesung" dan mendirikan Kedatuan Bowontehu. Kedatuan (kerajaan) Bowontehu meliputi wilayah penaklukan dari Talaud hingga Kuandang (Gorontalo). Ibukota kedatuan berpusat di pulau yg mereka namakan "Manarow" (sekarang Manado Tua) sedangkan wilayah teluk Manado bernama Mandolang telah menjadi bandar (pelabuhan) yang ramai pada abad ke 14.

Pada abad ke 15, persisnya tahun 1510 disebut-sebut sebagai awal pemerintahan kerajaan Siau. Siau bukan saja sebuah kedatuan, tetapi lebih cocok disebut sebagai kerajaan. Kerajaan Siau didirikan oleh putra Mokoduludugh yang bernama Lokongbanua II. Kerajaan Siau adalah salah satu kerajaan nusantara yang pernah eksis selama lebih 4 abad, yaitu sejak pembentukannya di tahun 1510. Masa akhirnya dapat diajukan pada tahun 1956, yaitu setelah penguasa kerajaan ke-25, yaitu Presiden Pengganti Raja Siau Ch. David, mangkat.

Pusat kerajaan ini terletak di Pulau Siau (02o 45’ 00’’ LU dan 125o 23’ 59’’ BT) yang kini di wilayah Kabupaten Sitaro. Tepatnya merupakan salah satu kabupaten di perbatasan Utara Indonesia di Laut Sulawesi ke wilayah laut Filipina. Pulau ini hanya berukuran luas tak lebih 100 Km2. Namun dalam kiprahnya kerajaan ini pernah mencakup daerah-daerah di bagian selatan Sangihe, Pulau Kabaruan (Talaud), Pulau Tagulandang, pulau-pulau teluk Manado dan wilayah pesisir jazirah Sulawesi Utara (Minahasa Utara), serta ke wilayah kerajaan Bolangitan atau Kaidipang (Bolaang Mongondow Utara) bahkan berekspansi armada lautnya sampai ke Leok Buol. Kerajaan ini dalam berbagai catatan Belanda dan sejarahwan lokal di Manado, H.M. Taulu, pernah mengusir armada Kerajaan Makassar yang menduduki wilayah Bolaang Mongondow. Tidak terhitung juga menghalau para armada perompak asal Mindanao.

Meskipun wilayahnya kecil dan tidak dikenal banyak orang Indonesia tetapi kerajaan ini pernah memegang peran di bagian Utara dan Timur Indonesia. Hubert Jacobs, S. J. yang terkenal dengan rangkuman serial sejarah wilayah Indonesia Timur Documenta Maluciensis, pernah juga membahas kerajaan ini. Jacobs memulai tulisannya dengan uraian mengutip perkataan seorang filsuf, ‘’kadang-kadang barang terkecil merupakan yang paling sulit direngkuh’’. Begitu analogi Jacobs atas kerajaaan kecil Siau ini di tulisannya. Mungkin karena Belanda pernah kesulitan hendak mencaploknya karena kerajaan ini dilindungi Spanyol yang berpusat di Manila (Filipina).

Tempat mukim raja atau istana Kerajaan Siau tercatat berpindah-pindah. Tahun 1510 saat didirikan oleh Raja Lokongbanua (1510-1549), kerajaan Siau dicatat berpusat di tempat yang bernama Kakuntungan. Tempat itu kemudian berganti nama menjadi ‘Paseng’ pada tahun 1516, karena di tempat itu misi Katolik Portugis singgah dan menyelenggarakan misa paskah yang bahkan turut juga dihadiri Raja Lokongbanua. Tempat bernama Paseng itu kini masih ada hingga kini di Barat Pulau Siau.
Meski misi Katolik sudah menggelar acara misa itu, namun tahun itu tidak dapat serta merta disebut agama Katolik telah dianut oleh kerajaan ini. Karena dalam catatan Portugis nanti pada tahun 1563 agama itu dianut oleh Raja Siau II, Posumah (1549-1587). Agama ini dibawa oleh paderi Diego de Magelhaes dari Kesultanan Ternate. Misi Katolik itu dalam catatan sejarah dikirimkan Portugis untuk mendahului kedatangan rombongan yang diutus Sultan Khairun dari Kerajaan Ternate untuk membawa siar Islam ke Sulawesi Utara.

Rombongan ini bahkan langsung dipimpin Pangeran Baabullah. Raja Posumah tercatat dibaptis menjadi Katolik di sungai besar di Kota Manado merupakan raja kedua Siau dalam berbagai literatur Portugis dan Spanyol. Dia dikenal dengan nama baptis, Don Jeronimo atau Hieronimus. Dari Passeng, pernah berkali istana raja pindah ke Pehe, Ondong dan di Ulu atau Hulu Siau.

Terhitung Raja Posumah memeluk agama Katolik kemudian pada zaman Raja Winsulangi kerajaan Siau layak disebut sebagai kerajaan Katolik. Berbagai catatan paderi menyebutkan bagaimana penyebaran misi Katolik difasilitasi dari Siau ke berbagai tempat di Sulawesi Utara dan Tengah. Kejayaan kerajaan ini disebut dicapai pada masa raja Batahi ((1639-1678) dan anaknya, Raja Ramenusa (1680-1715).

Tercatat sebelum masa VOC/Belanda pada tahun 1594 Raja Siau Ketiga Winsulangi (1591-1639) atau yang dikenal dengan nama baptis Don Jeronimo Winsulangi mengikat perjanjian kerjasama keamanan dan perlindungan dengan gubernur Spanyol untuk wilayah Asia (Filipina) di Manila. Sejak itu kerajaan Siau dijaga oleh Spanyol. Dua benteng pertahanan di Pulau Siau yang sudah dirintis sejak Portugis, Santa Rosa dan Gurita, berisi tentara Spanyol. Juga merupakan tempat mukim para paderi Spanyol, Portugis dan Italia. Nanti pada tahun 1677 Siau ditundukkan oleh Belanda dengan mempergunakan Sultan Ternate Kaitjil Sibori sebagai pelaksana. Tercatat sejak 9 November 1677 kerajaan ini menjadi bagian dari wilayah yang tunduk pada kehendak VOC-Belanda sebagaimana perjanjian Lange Contract yang ditandatangani Raja Batahi. Di antara pasal penting yang ditandatangani adalah kerajaan Siau harus beralih agama ke Kristen Protestan Belanda.

Meski demikian, kerajaan ini menjalin hubungan persahabatan erat dengan kerajaan-kerajaan Islam, seperti kesultanan Ternate. Juga dengan Kerajaan Bolaang Mongondow dan Kerajaan Bolangitan (Kaidipang) yang diislamkan Ternate. Setelah jatuh ke dalam rengkuhan Belanda tahun 1677 para pangeran dan puteri kerajaan Siau tetap melanjutkan tradisi kawin-mawin dengan pangeran dan puteri kerajaan-kerajaan tetangga. Termasuk kawin-mawin dengan kerajaan Bolaang Mongondow dan Bolangitang yang muslim.

Raja Jacob Ponto merupakan salah satu pangeran hasil perkawinan antar kerajaan itu di kerajaan Bolangitang. Ibu mereka adalah puteri asal Siau. Dia merupakan salah satu pangeran di kerajaan Kaidipang. Dia diangkat menjadi raja Siau ke – 14 oleh Komolang Bobatong Datu (Majelis Petinggi Kerajaan) yaitu semacam lembaga legislatif yang dibentuk oleh Raja Winsulangi. Memang majelis kerajaan ini sulit menetapkan pengganti raja dari para bangsawan yang ada di Siau, karena itu sejak raja ke 11 hingga ke 14 diambil dari pangeran yang berdarah Siau yang berada di kerajaan tetangga. Jacob Ponto adalah raja Siau yang muslim.

Jacob Ponto tercatat memerintah selama 38 tahun. Pemerintahannya dihentikan Belanda karena dia membangkang mengibarkan bendera Merah-Putih-Biru di halaman istananya. Raja ini hanya mau mengibarkan bendera kerajaan berwarna merah putih yang memang sejak lama sudah dipakai sebagai atribut kerajaan Siau, yaitu terhitung sejak zaman Raja Winsulangi. Pejabat Belanda yang dikirim untuk menggertak raja tidak berhasil membuat raja gentar. Raja juga tidak mau menaikkan pajak kepala di Siau, serta tidak mau mengganti agamanya sebagaimana isi perjanjian lange contract tahun 1677 antara VOC Belanda (Robertus Padtbrugge) dengan kerajaan Siau (Raja Franciscus Saverius Batahi).

Pada tahun 1889, Belanda dengan siasat seperti yang dilakukan pada Pangeran Diponegoro pada tahun 1830 menipu juga raja Jacob Ponto. Wakil Residen Manado datang ke Siau dan memintanya naik ke kapal yang sedang berlabuh di pelabuhan Ulu Siau. Belanda menyatakan ingin merundingkan hal penting dengan raja. Namun pada saat di kapal itu malah raja Jacob Ponto ditawan, selanjutnya dibuang ke Karesidenan Tjirebon. Tak heran di kalangan masyarakat Siau raja ini terkenal dengan gelar ‘I tuang su Sirebong’ (Tuan Raja di Cirebon).

Keberanian Raja Jacob Ponto melawan Belanda menjadi inspirasi pergerakan kebangsaan Indonesia, secara khusus di Siau. Gerakan kebangsaan itu mendorong dibentuknya di Pulau Siau cabang Partai Nasional Indonesia pimpinan Soekarno pada tahun 1928. Tokoh lokal sentral pembentukan itu adalah G.E. Dauhan. PNI Siau itu pantas disebut merupakan cabang PNI pertama di luar Jawa.

Makam raja Jacob Ponto kini sangat dihormati di desa Sangkanurib, Kuningan. Sekurangnya hingga tahun 1999, sebagaimana kesaksian masyarakat desa, acara renungan suci malam jelang hari kemerdekaan 17 Agustusan selalu dilakukan di makam itu. Juga upacara penaikan bendera merah putih. Maklum dalam beberapa buku pelajaran lama, tokoh ini dihubungkan sebagai tokoh pembela merah-putih. Sayang sejak tahun 2000 kegiatan itu tidak lagi dilakukan. Kenyataan ini membuat seorang budayawan asal Cirebon meminta pemerintah Kabupaten Kuningan dan pemerintah Kabupaten Sitaro serta Kabupaten Bolaang Mongondow Utara agar berkomunikasi bagaimana baiknya memberi penghormatan sepantasnya bagi Raja Jacob Ponto itu.

Nilailah Dedikasinya

ELIANS BAWOLE: Wakil Ketua II DPRD Sitaro

DPRD Sitaro dinilai sebagian kalangan memiliki performa yang kurang memadai dalam kurun waktu dua tahun terakhir dan alergi kritikan. Untuk mendeteksi dari dekat ihwal pekerjaan apa yang telah dan tengah dilakukan oleh para wakil rakyat itu, Ishak Sandala dari Korakora (KK) menemui Wakil Ketua II, Elians Bawole, SE (EB) di sela-sela kesibukannya sedang mempersiapkan diri untuk pembahasan Sembilan buah Rancangan Peraturan Daerah di Kantornya di Ulu Siau. Berikut ini kutipannya:

KK: Sejauhmana peran yang dilakukan parlemen Sitaro sejauh ini?

EB: Selama ini kinerja dewan menjadi hal yang enak dibahas, karena DPRD sebenarnya adalah representasi masyarakat yang berjumlah kurang lebih 80 ribu jiwa. Dari fungsinya DPRD memiliki tiga fungsi. Dalam UU 32, DPRD sudah merupakan salah satu penyelenggara pemerintahan bersama eksekutif. Namun DPRD hanya menjalankan tiga fungsi utama yaitu legislasi, budgeting dan controlling. Untuk fungsi legislasi, ada beberapa perda yang sudah ditetapkan oleh DPRD Sitaro. Yang paling santer adalah perda RTRW yang kini sedang dikaji. Penetapan RTRW sendiri perlu kajian yang mendalam dan membutuhkan waktu yang relative panjang. Persoalannya ada beberapa perubahan regulasi yang membutuhkan penyesuaian segra. Regulasi yang cepat berubah merupakan salah satu kendala sedangkan singkroniasasi regulasi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten masih terkait dengan persoalan perbatasan wilayah. Untuk wilayah sitaro penetapan batas wilayah masih belum pasti. Kemarin dalam pembahasan, terdapat beberapa masalah yaitu perbedaan-perbedaan prinsip soal nama-nama kluster. Jadi perlu dilakukan pengkajian kembali agar tidak melahirkan sebuah kebijakan yang prematur. Selain itu kita juga perlu melakukan identifikasi yang cermat mengenai sumber-sumber air dan luas wilayah untuk fungsi hutan lindung dan sebagainya yang belum diketahui secara pasti. Jadi penundaan penetapan Ranperda RTRW dimaksudkan agar kita dapat menghindari lahirnya program pembangunan yang arahnya tidak jelas.

KK: Lalu mengapa ada kegiatan pembangunan vital padahal RTRWnya belum ada? Apakah itu tidak bertentangan antara konsep dan konteks?

EB: Memang kalau kita lihat pemahaman secara utuh memang kita tidak bisa menunggu RTRW sedangkan pelayanan public harus berjalan. Kalau kita lihat secara keseluruhan Sitaro sendiri merupakan daerah rawan bencana. Sudah ada konsultan yang membuat peta jalur evakuasi. Saat ini ada kajian dari Bapedda sebelum RTRW ini ditetapkan. Kita masih bisa melaksanakan pembangunan meskipun RTRW masih belum ditetapkan. Jadi singkatnya kita harus terus membangun sejauh pembangunan itu masih tidak bertentangan dengan aturan.

KK: Pada fungsi budgeting, tidak lama lagi DPRD akan menanggapi LKPJ dan LKPD dari Bupati. Berdasarkan permendagri nomor 7 tahun 2010, DPRD akan menyusun Pedoman … akan ada sinkronisasi, kalau saja laporan bupati berbeda dengan laporan BPK, apa yang harus dilakukan oleh DPRD?

EB: Menurut saya istilah singkronisasi tidak relevan dan saya tidak setuju. Jika laporan bupati tidak sesuai dengan kondisi lapangan, maka kami akan meminta keterangan dari bupati. Setiap fraksi akan memberikan pandangan umum yang akan dijawab oleh bupati. Setelah pemandangan umum dijawab oleh eksekutif melalui tambahan penjelasan, maka disitu kita akan melihat sejauhmana ketimpangan itu terjadi. Jadi DPRD tidak akan melakukan singkronisasi bilamana ditemukan adanya ketimpangan dalam LKPJ atau LKPD.

KK: Komposisi parlemen didominasi oleh PDIP yang notabene merupakan . Apakah pengawasan yang dilakukan oleh parlemen menjadi lembek?

EB: Tugas dewan adalah penyelenggara pemerintahan. Pada prinsipnya Dewan dalam tugasnya akan membackup pekerjaan bupati. Tetapi mekanisme terbaru sekarang ini, berbeda dengan dulu yang menggunakan mekanisme satu fraksi satu suara, tetapi sekarang, masih dimungkinkan satu orang dapat mengambil keputusan yang berbeda (one man one vote). Oleh sebab itu masyarakat jangan terlalu apriori. Sejauh ini DPRD masih menilai kinerja eksekutif masih baik meskipun ada beberapa kelemahan dalam sistem manajemen. Sejauh ini memang personil DPRD masih menilai bahwa Opini BPK tanggal 1 Juli 2010 opini BPK untuk Sitaro Wajar Dengan Pengecualian. Kalau masyarakat sudah tidak percaya sebuah institusi itu susah juga. Bilamana ada masyarakat yang menilai misalnya ada proses tender yang kurang baik, sebaiknya disampaikan melalui mekanisme yang berlaku. Tetapi hingga saat ini beberapa keluhan masyarakat yang disampaikan melalui media massa belum diterima secara formal melalui surat ke DPRD. Mengenai fungsi pengawasan, sejatinya sudah kami lakukan. Perlu dicatat bahwa pekerjaan dewan tidak hanya nampak ketika personil berada di kantor, tetapi anggota dewan dapat berkantor dimana saja.

KK: Bagaimana Anda menilai performa DPRD Sitaro saat ini?

EB: Kalau ditanyakan langsung ke saya jelas kurang pas karena yang boleh menilai adalah masyarakat. Secara pribadi kalau saya menilai kawan-kawan yang ada di parlemen, saya melihat adanya peningkatan yang signifikan. Saya juga melihat adanya dedikasi yang tinggi untuk membangun Sitaro dalam diri masing-masing personil dewan. Masyarakat jangan cepat-cepat menilai bahwa performa DPRD Sitaro dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan karena latar pendidikan tidak menjamin kinerja menjadi lebih baik. Dengan adanya UU Nomor 27, maka semua latar belakang yang berbeda itu dapat menyatukan perspesi melalui bimbingan teknis. Mengamati perkembangan yang ada, kini para legislator Sitaro menjadi kapabel di bidang masing-masing.

INFRASTRUKTUR PELABUHAN MANADO DINILAI PARAH

Oleh: Dirno Kaghoo

Bertahun-tahun pelabuhan Manado terbiar tak terurus. Makin lama makin banyak korban yang jatuh. Semua pihak tak berani bertanggungjawab. Tapi bicara duit, banyak cara dilakukan di sana. Layanan untuk kepentingan keselamatan nonsen. Kasus terakhir akibat dari parahnya pengelolaan pelabuhan Manado adalah meninggalnya dua orang anggota DPR RI persis di depan mulut pelabuhan.

Zeth Walo selaku salah satu pengurus Assosiasi kepelabuhanan mengatakan penyebab peristiwa naas itu diduga kuat karena di tempat kejadian merupakan tempat pecahnya ombak. Kebetulan saja saat perahu yang digunakan para korban ketika masuk ke pelabuhan mendapat terpaan angin barat seketika. Lantaran di kompleks pelabuhan terjadi pendangkalan selama 10 tahun terakhir ini belum pernah dikeruk, sehingga pecahan ombak menjadi besar dan kurang diantisipasi oleh semua pihak yang berkompeten. Padahal persoalan ini sudah menjadi sorotan dalam setiap agenda tentang pengelolaan pelabuhan Manado, demikian pengakuan Walo saat KORAKORA mampir minum kopi di cafenya di bilangan pelabuhan.

Pada kesempatan itu, hadir pula Captain Victor Tambelangi, M.Mar., yang mempertanyakan berbagai kelemahan layanan infrastruktur yang tidak lagi memadai dan mengancam keselamatan penumpang yang menyalahi prosedur regulasi pelayaran yang baik dan benar. Tambelangi menegaskan mulai dari layanan tangga naik penumpang yang tidak diperkenankan menggunakan papan yang hanya digantung pada tali di depan pintu kapal. Prosedur yang benar bilamana kondisi datar dari dermaga ke pintu masuk, maka jembatan yang menghubungkan dermaga dengan pintu kapal harus mempunyai jaring atau minimal tempat untuk menjadi pegangan. Sedangkan tangga yang posisinya tinggi, harus dibuat anak tangga tetapi tetap menggunakan jaring. Dengan demikian bila terjadi kecelakaan, maka tidak menimbulkan korban dan kerugian yang fatal. Jangan heran bilamana di pelabuhan Manado sudah sering terjadi manusia jatuh dari atas tangga bahkan mayat pernah jatuh juga. ungkap Walo.

Percakapan kedua tokoh yang kompeten dalam bidang kepelabuhanan itu menarik perhatian beberapa orang yang sedang sharing pendapat di cafe kecil itu. Capten yang malang melintang di lautan dan pelabuhan internasional itu mengatakan bahwa dirinya berkompetensi untuk mengaudit semua aktivitas di pelabuhan Manado. Semoga dari kunjungannya di kampung halamannya Hiung, beliau segera dapat membenahi pelabuhan Manado melalui peran strategis yang melekat pada dirinya dan mendorong kalangan profesional (shipping lines, port company, logistic company), serta serta pihak pemerintah (perhubungan laut, ADPEL, kepabeanan), untuk dapat memberikan gambaran langsung tentang penerapan Modern Port Management di dalam sebuah kondisi nyata di Manado dan pelabuhan-pelabuhan kecil lainnya di SaTaS.

Welmi Loway, salah satu pelaut asal Sitaro mengatakan setuju semoga ada perubahan dan regulasi pelabuhan yang lebih mengutamakan keselamatan sehingga kelihatan tertata. Terutama ketika penumpang berada di kapal, ada ketegasan dari crew kapal terlebih Capten dan Mualim 1 sebelum berangkat untuk meneliti apakah penumpang dan barang sesuai list manifest agar tak terjadi korban berikutnya, kata pelaut asal Makalehi itu. Ia menilai bahwa standar yang dipakai di pelabuhan Manado sangat buruk, selayaknya Adpel tegas dalam aturan seperti crew kapal mulai dari Capten sampai koki ada yang hanya bermodalkan buku pelaut.

Selayaknya harus memiliki sertifikat profesi dan ketrampilan pelaut seperti BST (Basic Safety Training), SCRB (Survival Craft and Rescue Boat) serta ANT D (jurumudi) maupun Perwira ANT 5, ANT 4 seterusnya, karena standar ini yang dikeluarkan oleh IMO (International Organitation Maritime). Jadi kalau sampai terjadi seperti peristiwa kemarin, yang disalahkan berani saya katakan adalah Pemda, Adpel, dan pihak-pihak yang berhubungan dengan pelayaran. solusinya adalah benahi semua yang bobrok dan ikuti aturan internasional agar rakyat juga aman dalam menggunakan jasanya.

SEKE MAWELOGANG (Kearifan Lokal Yang Bakal Tergerus Oleh Kebijakan Pengelolaan Laut)

Oleh: Dirno Kaghoo

Seke adalah alat tangkap ikan berupa jaring yang digunakan oleh warga pulau Makalehi yang dilakukan secara berkelompok. Menangkap ikan dengan seke disebut maneke. Sedangkan orang-orang yang menangkap ikan dengan menggunakan seke disebut mananeke. Para mananeke itu dikelompokkan dalam empat kelompok seke, yaitu: 1) Seke Maghurang, 2) Seke Mesalung, 3) Seke Mesara, dan 4) Seke Pirua. Selain keempat seke di atas belakangan lahir satu seke baru yaitu Seke Rio yang dikepalai oleh Opa Nggole sebagai seke kelima yang pernah eksis di Makalehi.

Kedudukan Seke Maghurang, Seke Mesalung dan Seke Rio di bagian selatan Kampung Makalehi meliputi tempat yang dinamakan Malahemung, Tilade dan Saghe Kadio sedangkan dua seke lainnya yaitu Seke Pirua dan Seke Mesara berkedudukan di bagian utara kampung meliputi tempat yang disebut Malendang. Ketiga seke di selatan tidak diperbolehkan menangkap ikan di pesisir utara wilayah penangkapan kedua seke yang berkedudukan di utara, kecuali jika diundang oleh anggota seke lainnya. Undangan untuk menangkap ikan ini biasanya dikarenakan oleh ikan yang terlalu banyak dalam arti cukup untuk dibagi-bagi ke seke yang lain.

Para petugas seke, secara hierarki dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu orang-orang sesuai urutan nomor yang telah ditentukan. Orang-orang nomor satu ini biasanya adalah orang-orang tua yang berpengalaman termasuk tonaseng dan seterusnya kebawah sesuai pengalaman dan kemampuan masing-masing. Hierarki ini juga membedakan pembagian jatah ikan hasil tangkapan. Di setiap seke terdapat paling kurang tiga kengkang (sejenis perahu londe yang berukuran lebih besar dari biasanya). Ketiga kengkang itu antara lain: 1). Kengkang Namu yaitu perahu tempat tali yang dipasang daun janur untuk mengusir ikan, 2). Kengkang Pandihe, yaitu perahu tempat seke dan 3) Kengkang Usu yaitu perahu tempat membawa telide (telide adalah alat yang berfungsi untuk menekan seke jika ikan bergerak ke bawah. Kengkang Usu ini selalu mengikuti Kengkang Pandihe. Orang-orang yang berada di kengkang-kengkang ini biasanya adalah orang-orang muda yang bertenaga kuat. Selama melakukan kegiatan penangkapan terdapat larangan tidak boleh menyalakan api di pantai, merokok, bercerita dan membuat gaduh. Ketika seke dilepas, orang yang turun kelaut dengan kaos tidak boleh melepaskan kaos yang dikenakannya. Semua pelanggaran terhadap aturan maneke ini akan dibahas oleh anggota dalam musyawarah seke dalam tingkatan internal seke masing-masing maupun antar seke-seke.




Makalehi Berdaya, Mawelogang Berjaya

Oleh: Dirno Kaghoo


Sebuah fakta yang tidak dapat disangkali bahwa sejak dulu kala orang-orang dari Makalehi bagi beberapa orang Siau yang berpandangan feodal seringkali dipandang miris. Pandangan itu berawal dari aktivitas sekelompok pedagang di pasar Ondong. Bagi pedagang-pedagang Siau dan juga pembeli di pulau pala itu, melekat label bahwa orang Makalehi identik dengan ikan asin (kina garang) dan kangkung. Mengapa demikian? Karena orang-orang Makalehi rajin mengelola ikan asin dan memproduksi pisang dan kangkung dari danau kecil di perut pulau terluar di Kabupaten Sitaro itu.

Pandangan tentang kina garang dan kangkong tersebut diatas secara sosial menempatkan status orang-orang Makalehi lebih rendah daripada status sosial orang-orang di Pulau Siau yang memproduksi pala sebagai komoditi sangat membanggakan. Di pulau Makalehi memang sulit ditumbuhi pohon pala karena struktur tanah yang tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman yang satu itu. Tetapi sebagai mahkluk sosial yang harus survive, warga kampung Makalehi dituntut menyesuaikan dengan kondisi lingkungan alam sekitarnya. Tanpa malu akibat pendiskreditan sosial, penduduk pulau Makalehi tidak lantas merasa teralienasi dari kesatuan sosial saudara-saudara mereka yang mendiami pulau Siau. Mereka tidak lagi mengusik kepemilikan bersama atas kebun dan tanaman pala yang dikuasai oleh saudara-saudaranya di pulau Siau. Mereka tetap berjuang mempertahankan kehidupannya melalui usaha-usaha yang halal dan mengembangkan pola berdagang yang khas perbatasan ke ibukota provinsi (Manado). Sementara di kampungnya sendiri, penduduk menjadi terlatih menahan diri hidup hemat dengan memaksimalkan produksi rumah tangga secara konvensional. Implikasinya adalah terbentuk manajemen keuangan yang efektif dan efesien dalam ruang lingkup keluarga inti. Setiap keluarga menjadi waspada dan tak pernah terlena oleh gilang gemilang harta.
Beberapa di antara mereka hidup merantau di kota Manado dan membentuk komunitas sosial yang melembaga dalam kurun waktu yang cukup lama. Sebut saja ada Rukun Makalehi yang berbasis di Manado Utara dan meluas jangkauannya ke Kota Bitung. Lembaga ini hanya merupakan sekumpulan orang-orang yang diikat oleh solidaritas sosial untuk membangun kampungnya. Ikatan solidaritas ini menjadi sangat kuat dan dengan mudah membuka akses keluar daerah bahkan keluar negeri (negara lain: seperti Belanda).
Kita bisa belajar banyak dari cara kerja mereka. Saudara mereka yang di Belanda mengirimkan sejumlah bantuan sosial untuk membangun gedung gereja dan sedikit biaya untuk membuat jalan setapak. Si pemohon bantuan hanyalah seorang kuli di sebuah toko kecil di bilangan Tikala Manado, tetapi ia dituntut harus membuat laporan keuangan secara terperinci dan tentunya sangat bertanggungjawab, meskipun mereka adalah sanak saudara. Dengan demikian terbangun kepercayaan yang sangat kuat dalam interaksi kekeluargaan itu. Hal ini membuat hubungan itu berlangsung lama dan tetap sehat sehingga akhirnya berpola menjadi sebuah perilaku sosial yang positif bagi pengembangan masyarakat.
Menurut Welmy Loway Daloma, putra Makalehi yang kini bekerja sebagai pelaut; orang-orang dari Makalehi pernah mengalami perlakuan tak pantas ketika akan berlomba di siau. Selalu ada cara agar kami tak berprestasi baik di pendidikan,olaraga,seni musik tapi semua itu tak menyurutkan kreativitas anak Makalehi itu sudah di buktikan dgn beberapa putra Makalehi masuk dapur rekaman Lagu Pop Rohani yaitu Imanuel Voice, Brilian Voice, Abenwin Junior dan Group Masamper Golden Sasiritan. Di bidang Olaraga salah satu Putra Makalehi yang masuk Pemain Persma Manado ketika ikut Liga Indonesia adalah Donny Kalebos. Lebih mengejutkan ketika lomba olimpiade ke Tomohon SMU Makalehi baru di bentuk tahun lalu, tapi mampu mengungguli SMU di siau. Bagi kami semua itu adalah motivasi untuk membuktikan bahwa kami layak juga di hargai dan Tuhan mendengar doa Mawelogang. Kalau dulu tak di tanam Pala dan Cengki sekarang yang mengelilingi Pulau Makalehi adalah Jambu Mente, Pala, cengkih, Kelapa dan Pisang. Tinggal bagaimana pemerintah memfasilitasinya, tegas Daloma.

Masyarakat Makalehi menjadi berdaya, bersaing dengan 72 ribu desa di Indonesia bukan lantaran sentuhan program-program pemberdayaan masyarakat yang digalakan oleh pemerintah, melainkan karena sikap bertanggungjawab dari masyarakat untuk merespon kondisi alamnya sehingga mampu survive bahkan dapat mengembangkan diri menjadi lebih baik dari hari ke hari. Alhasil, kini Makalehi mencatat prestasi terbaiknya sejajar dengan masyarakat petani pala Siau yang pernah membuat sejarah sebagai petani dengan hasil pala terbaiknya. Sukses terus saudara-saudaraku. Sukses buat Mount Kalebos sang Kapitalau. Semangat terus buat Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Drs Edi Salindeho. Kita tunggu kiat dari masyarakat di kampung-kampung Toade dan sekitarnya.






KARANGETANG MENGAMUK, PELAUT TERKETUK

Oleh: Ishak Sandala

Kabar tentang bencana Karangetang menggema sampai ke seluruh penjuru dunia dalam kecepatan yang tak kalah cepat dengan kejadiannya sendiri. Nun jauh di Afrika sana, telinga para pelaut di atas kapal AHTS Ark Tze menangkap cermat detail informasi perkembangan bencana tersebut. Sang Captain, Victor Tambelangi, M.Mar. menuturkan perasaannya dengan haru biru lantaran kampung Kinali-nya yang dihantam lahar dingin dan lebih lagi salah satu pihak yang kena bencana adalah kerabat satu darah bermarga Tambelangi.


Dengan menggunakan KM. Queen Mary Capt. Victor Tambelangi, M.Mar bersama keluarga berlayar menuju pulau Siau. Dengan niat mulia yaitu hendak memberikan bantuan kepada korban bencana Letusan Gunung Karangetang 06 Agustus silam. Langit masih gelap ketika rombongan tiba di pulau Siau. Sang Kapten pun memutuskan untuk menginap di Hotel Jakarta, Ulu. Keesokan harinya bersama istri dan kedua ponakannya melanjutkan perjalanan ke kampung halaman Desa Hiung.

Senin 24 Agustus 2010, bertempat di Gereja Pantekosta Jemaat Parakletos Kampung Kinali Capt. Victor Tambelangi, M.Mar menyerahkan bantuan langsung kepada para korban bencana. Acara ini juga turut disaksikan oleh Kepala Dinas Sosial Kabupaten Kepulauan Sitaro, Drs. Herry Lano bersama beberapa orang stafnya.

Acara berlangsung dengan suasana haru, Solidaritas Pelaut asal Siau di Afrika memberikan bantuan berupa 10 kg beras untuk 54 kk, dan 10 lembar seng serta 5 sak semen untuk tujuh keluarga yang rumahnya rusak parah. Capt. Victor Tambelangi dalam sambutannya mengawali penyerahan bantuan tak mampu menahan air mata tanda turut merasakan duka mendalam yang dirasakan oleh para korban bencana. “Hanya ini yang bisa kami lakukan, kiranya bisa meringankan beban kita semua dalam menghadapi semua ini “ tutur sang Kapten menyudahi sambutannya.

Mewakili Pemerintah Daerah Kepala Dinas Sosial Kabupaten Kepulauan Sitaro, Drs. Herry Lano yang adalah juga putra Sibarut menyampaikan rasa terima kasih kepada Solidaritas Pelaut asal Siau di Afrika, yang walaupun dari kejauhan masih bisa menunjukkan kepeduliannya atas bencana yang terjadi di kampung halaman.

Kilatan Putih di Langit Siau Tandai Bencana Karangetang (Kesaksian Nelayan dan Camat Sibarut)

Oleh : Ishak Sandala

Malam itu Gunung Api Karangetang tampak tenang, tidak ada tanda-tanda dan aktifitas yang mengkhawatirkan. Tiba-tiba sebuah letusan maha dahsyat keluar dari kawahnya, waktu kira-kira menunjukkan pukul 00.05 kala itu. Membangunkan warga yang sementara terlelap, mengubah suasana menjadi mencekam di kampung Kinali dan sekitarnya Kecamatan Sibarut. Gelap gulita, suara seram gemuruh material yang keluar dari mulut gunung, seolah dunia menjelang kiamatnya.

Dalam hitungan detik, beberapa rumah tersapu material dan aliran lahar panas yang keluar dari mulut Gunung Api Karangetang. Suasana hening sekejap berubah mencekam dan menakutkan. Beberapa nelayan kala itu sedang mencari ikan, dari tengah laut menyaksikan sesuatu seperti kilat. Menyala di puncak Karangetang langsung diikuti letusan dahsyat yang mengingatkan mereka pada letusan puluhan tahun silam.

Camat Sibarut yang menetap di kampung Kinali mengisahkan, ketika itu dirinya sedang beristirahat di rumahnya. Tiba-tiba dikagetkan dengan suara menggelegar berasal dari Gunung Api aktif sepanjang masa itu. Iapun spontan keluar dari rumah dengan maksud ingin mencari tahu apa yang sedang terjadi. Bersama beberapa masyarakat, dirinya bergegas menuju dua buah kali yang biasanya dialiri aliran lahar Karangetang. Ternyata dugaan mereka salah, letusan malam itu justru menghanguskan ratusan pohon pala milik warga sekitar dan menghancurkan jembatan permanen yang menghubungkan kampung Kinali dan kampung lainnya. Benar saja, ketika hendak menuju lokasi tersebut, mereka sudah tidak bisa melanjutkan langkah karena jalan aspal dan dua buah jembatan permanen yang semula berdiri kokoh itu sudah tak terlihat lagi, hangus dan dari pandangan mereka lokasi itu sudah berubah warna menjadi hitam pekat, seperti ada yang melubangi terus mengarah ke laut.

Musibah ini berlangsung hanya dalam detik, sungguh menakutkan. Saya sendiri langsung terpikir apa salah saya selama ini…” ungkap Camat Sibarut mencurahkan isi hatinya kepada reporter KORAKORA. Segera setelah menyadari bahwa keadaan saat itu sangat membahayakan, ia langsung menghimbau masyarakat sekitar untuk tetap tinggal di rumah masing-masing sambil terus berdoa dan waspada. Himbauan ini berdasarkan pengalamannya setiap kali Karangetang memberangus jarang sekali aliran laharnya mengalir ke arah pemukiman warga. Namun sepertinya takdir berkata lain, malam itu ada satu keluarga yang bermaksud ingin melarikan dengan sepeda motor yang pada akhirnya harus menjadi korban dalam musibah ini. Hedy Tambelangi bersama suami dan kedua orang anaknya terseret material Gunung Karangetang. Tujuh unit rumah lenyap, seakan melengkapi kisah kelam malam itu. “Tak kuasa rasanya kami menerima cobaan ini “, kata Sosipater Pangumpia warga Kiawang.Ж

RTRW SITARO SEBUAH PENANTIAN

Oleh: Dirno Kaghoo

Arah Kebijakan Pembangunan suatu daerah akan sangat ditentukan oleh ada tidaknya Rencana Tata Ruang dan Wilayah. Pihak yang merumuskan dokumen ini adalah Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda). Kabupaten Kepulauan Sitaro sebagai daerah otonom yang relative baru, seperti daerah-daerah lainnya dalam lingkup Provinsi Sulawesi Utara, belum memiliki Perangkat Peraturan Daerah RTRW ini. Apa pasalnya?

Sejak tahun 2008 yang lalu Bapedda Sitaro telah merekomendasikan Draft RTRW untuk dibahas dalam sidang paripurna DPRD. Tetapi menemui kendala karena ditemukan draft tersebut merupakan tiruan dari Kabupaten Nunukan. Hingga kini pada tahun 2010, Ranperda RTRW tersebut belum ditetapkan sebagai peraturan daerah.

Pihak legislative Sitaro membentuk Pansus yang diketuai oleh Harles Bawole, ST guna menelusuri kelengkapan berkaitan dengan keabsahan data. Menurut Bawole, ada dua alasan krusial dibalik belum ditetapkannya Perda RTRW Sitaro. Pertama adalah data yang dipaparkan oleh perencana tidak lagi sesuai dengan kondisi nyata hari ini dan yang kedua adalah belum adanya payung hukum atau regulasi yang relevan sebagai acuan bagi pembuatan Perda RTRW karena Ranperda RTRW Provinsi Sulawesi Utara hingga saat ini belum juga ditetapkan menjadi peraturan daerah. Bawole juga mengatakan, pihak legislative telah melakukan konsultasi dengan pemerintah provinsi dan ternyata kendalanya masih berkaitan dengan penetapan status pengelolaan pertambangan di Kabupaten Minahasa Utara yang hingga kini belum dapat diselesaikan.

Dengan demikian menyangkut perda RTRW Sitaro, posisinya masih menunggu penetapan Ranperda RTRW Provinsi. Yang menarik menurut Bawole, kesiapan Sitaro mengenai RTRW sudah dikategorikan pada range kedua setelah kabupaten Minahasa Utara. Dari 15 kabupaten/kota se Sulut, kesiapan RTRW Sitaro menempati range kedua meninggalkan kabupaten/kota lainnya, kata anggota DPRD Sitaro dari Dapil Tagulandang itu.

Sementara itu, Kepala Bappeda Sitaro, Drs Donald Denny Kondoy, M.Si melalui SMS (Short Message Service) ponselnya mengatakan, pihaknya telah menyiapkan seluruh kelengkapan terkait penetapan Ranperda RTRW menjadi perda dan kini sedang dibahas di DPRD Sitaro dan sudah pada tahapan ketiga. Ranperda tersebut selanjutnya menunggu perbaikan dan akan dikonsultasikan ke BKPRD Provinsi Sulut kemudian dikonsultasikan lagi ke pemerintah pusat. Prosesnya memang panjang dan diharapkan pada bulan Desember 2010 semuanya sudah rampung, urai Kondoy.Ж

SKPD Gagal Serap APBD

Oleh: Dirno Kaghoo

Sitaro berada dalam ancaman pembekuan, manakala pihak penyelenggara pemerintahan daerah tidak mampu menyerap anggaran daerah menjadi bermanfaat bagi pembangunan daerah dan kemaslahatan hidup masyarakatnya. Betapa tidak, Silpa APBD tahun 2009 yang lalu disinyalir terdapat sisa anggaran sebesar Rp 17 miliar yang tidak bisa digunakan oleh 11 Kantor Dinas, 5 Badan, dan 2 Kantor. Sedangkan Silpa pada tahun 2010 terdapat sedikitnya Rp 50 Miliar yang tidak mampu diserap 18 SKPD. Total APBD Tahun 2009 sebesar Rp 322 Miliar sedangkan total APBD tahun 2010 adalah Rp 350 miliar.

Adanya silpa dalam jumlah yang signifikan tersebut disebabkan antara lain karena lemahnya sumber daya manusia dalam membuat perencanaan pembangunan di 18 lembaga penyelenggara pemerintahan daerah yang dimayoreti oleh bupati Toni Supit dan wakil bupati Piet Hein Kuera. Salah satu indicator adalah demikian cepat penggantian kepala SKPD sehingga pejabat yang merencanakan kadang-kadang harus menghentikan rencana karena sudah diganti oleh pejabat baru.

Kelemahan manajemen pembangunan seperti ini harus segera disikapi oleh pemerintahan SUKUR melalui sikap konsisten dan tidak boleh main-main, kata Gideon Maru, warga Hekang Kecamatan Siau Timur. Menurut dosen UNIMA tersebut, tanggungjawab bupati dan wakil bupati adalah memaksimalkan kinerja jajaran eksekutif. Jika terjadi silpa dalam jumlah yang besar, maka itu artinya bupati dan wakil bupati tidak mampu menjalankan amanat rakyat.

Lain lagi dengan Harles Bawole, anggota DPRD Sitaro yang menilai kinerja eksekutif dalam menyusun perencanaan pembangunan daerah. Menurut Bawole, pihak DPRD Sitaro sudah melakukan upaya klarifikasi soal kebenaran silpa ini dan benar ditemukan adanya ketidakmampuan dalam membuat perencanaan, sehingga kedepan diperlukan sumber daya manusia yang lebih memadai guna mengelola keuangan daerah. Takutnya, Sitaro akan mengalami penurunan besaran APBD lantaran ketidakmampuan pihak eksekutif dalam mengelola anggaran yang dikucurkan pemerintah pusat, tegas Bawole.

KOMOLANG BOBATUNG DATU

Oleh: Dirno Kaghoo

Jauh berabad-abad yang lalu, sebelum Negara bangsa yang bernama Indonesia dikenal di seluruh Nusantara, di jazirah utara nusa utara telah lahir sebuah tatanan pemerintahan yang tergolong unik. Tatanan pemerintahan sebuah komunitas lokal terbatas di bawah kaki gunung Karangetang yang diyakini ditunggui oleh Ampuang Tatetu sebagai penguasa mutlak komunitas dibawah bimbingan Aditinggi dan Mawendo.

Kedatuan bukanlah sebuah system pemerintahan layaknya kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja. Kedatuan di Siau dipimpin oleh seorang datu. Seorang datu biasanya adalah seorang laki-laki (patrialis) yang diberikan kepercayaan memimpin komunitas berdasarkan hubungan darah dari datu-datu sebelumnya. Datu pertama Kedatuan Siau adalah Lokongbanua anak dari Mokodaludu yang berasal dari Kerajaan Kaidipan di Bolaang Mongondow. Lokongbanua memerintah sejak tahun 1510 dengan tatanan pemerintahan yang sangat sederhana.

Pada waktu lalu konsep kekuasaan tidaklah total dipahami sebagai kekuasaan kewilayahan dalam pemahaman kini. Kala itu, kekuasaan dominan terkait dengan kemampuan membentuk kekuatan bersenjata yang mobile demi merebut kendali atas perdagangan tenaga kerja budak dan monopoli atas produk-produk dagang lain. Sedang, kekuasaan menurut Evelyn Tan Cullamar dalam tulisannya ‘’Migration Across Sulawesi Sea” dibangun atas relasi orang atau tokoh lain. Aliansi politik dibangun dominan dengan kawin-mawin di antara para elit pemimpin.

Dalam sistem pemerintahan kedatuan, menurut dokumen dari Kedatuan Tabukan tahun 1927, jabatan setingkat di bawah raja adalah, jogugu. Sedangkan di tingkat kampung ada pemimpin yang disebut kapitalaung (di Sangihe) atau apitalau (di Talaud) dan kapitalau (di Sitaro).

Di kawasan SaTaS diartikan sebagai jabatan pemimpin orang banyak (lawo) atau pemimpin untuk sebuah ikatan (lawung= ikatan) atau lau (himpunan berbagai campuran) diberikan pada pemuka masyarakat yang karena kecakapannya mampu mengikat atau mempersatukan masyarakat sebagai satu kesatuan hukum; memelihara keutuhan serta adat. Di bawah kapitalaung ada hukum mayor dan hukum. Di kampung juga ada jabatan yang menangani urusan pengadilan, yaitu disebut kapitan bisara, yaitu jaksa. Kewajibannya adalah menyampaikan dakwaan dan membawa terdakwa ke hadapan majelis pengadilan. Untuk urusan mengadili dipilih seorang hukum mayor yang dilantik menjadi hulu hakim majelis, sedang raja, jogugu, kapitanglaung, hukum mayor serta hukum, berlaku sebagai anggota majelis. Kemudian hari dokumen Belanda Mededelingen 1912 membeberkan kuasa pengadilan dipegang semata oleh raja dan penguasa kolonial.

Adapula jabatan yang secara khusus mengelola pelabuhan, bergelar syahbandare. Pejabat ini mengatur lalu lintas masuk-keluar kapal. Termasuk, menjemput tamu sekaligus menghadapi segala bahaya yang masuk via pelabuhan. Jabatan syahbandar ini, pertama, diduga merupakan pengaruh sistem pengelolaan pelabuhan yang diadopsi dari kerajaan-kerajaan Islam-Melayu, semacam Malaka yang memang paling terkenal dan menjadi patron perdagangan Nusantara sebelum kedatangan Portugis. Kata ini bisa saja diserap via Ternate di Tabukan. Pemakaian kata itu merupakan bukti kuat pengaruh jaringan dagang ke Malaka. Di samping jabatan penguasa pelabuhan itu, kerajaan juga mempunyai bala tentara yang biasanya dikepalai pangeran dan diberi gelar mayore labo atau mayor besar. Di bawahnya ada mayore (mayor), kapita (kapten), lutunani (letnan), ondore adidang (ajudan), aliparese (pembawa bendera), sariang mayore (sersan mayor), sariang dan kaparale (kopral). Khusus dalam istana Tabukan ada jabatan kapitaratu (kepala rumah tangga istana) dan keneke (juru rasa makanan). Juga ada barisan dayang-dayang yang disebut gunde yang dikepalai pangantaseng. Sedang di tingkat kampung, ada jabatan hakim pemisah, mantri polisi, pemungut cukai, mandor jalan, mantri kerajaan dan ibu-bapa bagi rakyat.

Di Kedatuan Siau ditemukan struktur dan susunan (hirarki) pemerintahan yang secara garis besar serupa dengan yang di Tabukan. Kecuali, sejak tahun 1592, sekembali dari pengungsian di Ternate serta demi menghindari terulangnya serangan pasukan Mindanao sebelumnya, Raja Winsulangi melakukan reformasi pemerintahan.

H.B. Elias, ‘’Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia di Siau” mengurai langkah-langkah reformasi itu:

Pertama, raja Winsulangi membentuk sebuah dewan pemerintahan tertinggi dengan nama Komolang Bubatong Datu (Majelis Kedatuan Siau). Anggotanya terdiri dari keluarga raja dan bangsawan namun juga keterwakilan tokoh-tokoh masyarakat terkemuka. Dewan dipimpin oleh Presiden Raja yang terus berhubungan dengan Raja dalam pemerintahannya dari hari ke hari. Dewan ini berkewenangan bersidang menentukan dan mengangkat raja. Pada kasus Raja tidak ada dalam jangka lama atau berhalangan, dewan dapat mengambil inisiatif mengangkat Presiden Pengganti Raja. Ini hanya berlaku dalam keadaan genting dan jarang terjadi. Dewan itu jelaslah menjadi sarana bagi rakyat untuk ikut serta dalam berbagai urusan pemerintahan. Memang Don Jeronimo Winsulangi berniat agar pemerintahan Siau jangan jadi despot dan penguasa tunggal. Karena dewan ini H.B. Elias menyatakan sifat kerajaan sudah konstitusionale monarchi meski sebenarnya itu akibat kebijakan pemerintahan Portugis.

Kedua, setelah berkonsultasi dengan orang-orang Spanyol raja membentuk pertahanan kerajaan, yaitu angkatan perang darat dan laut. Angkatan darat terdiri dari pasukan kompania, upase dan alabadiri. Kompania adalah tentara biasa, sedangkan upase adalah pengawal raja dan labadiri tentara pengawal istana. Pangkat-pangkatnya sama dengan yang ditemukan di Tabukan, dengan bahasa Porto atau Spanyol. Sedang angkatan lautnya terdiri dari armada perahu perang bininta, konteng dan kora-kora. Angkatan laut dipimpin seorang laksamana, yang saat itu dijabat Laksamana Hengkeng u Naung yang terkenal karena penjelajahannya dari Filipina hingga Leok Buol dengan beberapa daerah tundukan dan wilayah sahabat. Bahkan pernah mengusir pasukan armada Makassar dari Bolaang Mongondow seperti pernah ditulis beberapa penulis Eopa dan H.M. Taulu. Tak heran H.B.Elias dalam bukunya juga menyebut Siau imperium dalam format kecil.

Ketiga, Raja menciptakan panji-panji atau bendera kerajaan. Warnanya secara khusus diturunkan dari dua warna tradisional dalam ritual Siau pada dewa laut (Mawendo) dan darat (Aditinggi), yaitu masing-masing warna merah dan putih. Dua warna ini bagi masyarakat Siau bersifat sakral. Mungkin, karena itu perjuangan kemerdekaan Indonesia yang mengusung simbol merah putih Indonesia dengan cepat dan konsisten direspon pejuang-pejuang Indonesia asal Siau yang menjadi partner Soekarno di PNI semacam G.E. Dauhan dan diteruskan para tokoh lain sesudahnya semacam Esly Salekede. Panji-panji kerajaan Siau ciptaan Winsulangi itu, tampil dalam tiga ukuran dan bentuk. Semuanya disebut sebagai seka-saka. Bendera itu berwarna merah yang dikelilingi bis putih. Bendera ini dipakai terus sampai zaman Belanda. Karena bendera ini, suatu ketika Raja Jacob Ponto dibuang Belanda ke Cirebon. Maklum raja ini tidak mau menurunkan bendera berukuran 80x80 cm di depan istananya. Setelah pembuangannya, Belanda sama sekali melarang pengibaran bendera sejenis itu di Siau. Meski demikian, angkatan perang Siau terus memakainya. Terbukti saat Raja L.N. Kansil yang berangkat ke Tahuna pada tahun 1923 untuk menghadiri perayaan jubelium perak (25 tahun) pemerintahan Ratu Wilhemina. Raja ini memakai bendera itu di perahu kora-koranya dan dengan megah memasuki pelabuhan Tahuna serta disambut secara resmi kala acara itu.

Keempat, urusan pemerintahan diserahkan sepenuhnya kepada Jogugu, yang ketika itu dijabat D’Arras (Darras) yang juga adalah ketua presidenti raja. Perpaduan D’Arras dengan Hengkeng U Naung (atau Hengkengnaung) menghasilkan perluasan wilayah Siau dan penumpasan bajak-bajak laut Mindanao di Laut Sulawesi.

Kelima, supaya mendapat kemajuan yang cepat maka para putera kerajaan (Pangeran Batahi) disekolahkan di universitas di Manila di intramuros.
Adapun struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di kawasan Sangihe-Talaud-Sitaro secara umum dirangkum Steller dalam De Sangi Archipel dengan susunan meliputi jabatan-jabatan: Raja Dibantu Bobato (rijksgroten) atau pembesar istana atau Dewan Raja atau Presidenti Raja; Jogugu, Presidenti Jogugu (tidak selalu ada); Kapten Laut, Mayore Labo, Hukum Mayore, Sadaha Negeri, Kapitan Bisara, Sengaji Kumelaha, Sawohi, Sahbandar,

Marinyo Bisara, Marinyo Bala, Marinyo. Sekilas praktik pemerintahannya tidak mengacu pemisahan cabang-cabang kekuasaan atau trias politica, namun mencampurkan cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Meskipun demikian mulai ada pelibatan rakyat dalam kontrol kekuasaan yaitu dalam badan atau dewan raja yang memberi masukan bahkan mengontrol raja. Kontrol itu sangat disadari di Siau sejak Raja Winsulangi. Negara juga diperlengkapi aparatus militer detil, yaitu angkatan darat dan laut. Dua angkatan ini jelas terkait dengan kebutuhan keamanan dan pertahanan dari berbagai ancaman zaman itu, sekaligus menjadi bukti orientasi maritim kala itu.

PARLEMEN SITARO “BANTO”

Oleh: Ishak Sandala

Wakil rakyat seharusnya merakyat, Jangan tidur waktu sidang soal rakyat, Wakil rakyat bukan paduan suara, Hanya tahu nyanyian lagu setuju…. Demikian penggalan lagu Iwan Fals yang adalah wujud keprihatinannya terhadap Lembaga DPR yang menurut pengamatannya belum mampu mengejawantahkan amanat penderitaan rakyat.

Masih segar dalam ingatan kita tentang bencana banjir bandang yang menghantam desa Apelawo dan sekitarnya pada 08 Desember 2009 silam. Musibah yang menyisakan dukacita mendalam di hati para korban. Peristiwa yang menuntut perhatian dan kepedulian dari seluruh pihak terkait untuk bahu-membahu melakukan tindakan penanggulangan. Pemerintah Daerah dan DPRD diharapkan mampu memimpin masyarakatnya untuk bisa melewati situasi tersebut, namun apa mau di kata, tepat tanggal 25 Desember 2009 hanya berselang beberapa minggu setelah bencana, Pemerintah Daerah dengan persetujuan DPRD, justru membeli puluhan unit mobil dinas dengan alasan; daripada dana itu kembali ke pusat lebih baik digunakan saja untuk pengadaan Mobil Dinas. Publik Sitaro-pun terpana menyaksikan parade mobil plat merah yang melintas di jalan pusat kota Ulu hendak diparkir di halaman kantor DPRD. Suasana duka yang sementara menyelimuti masyarakat seakan tidak dirasakan oleh Pemerintah dan Wakil rakyatnya. Sungguh sebuah kebijakan yang tidak dilandasi rasa senasib sepenanggungan dengan masyarakat yang mengijinkan mereka duduk di kursi empuk nan nyaman itu.

Tahun ini tepatnya tanggal 06 Agustus 2010, setelah sekian lama tak menunjukkan aktifitas berarti, akhirnya Gunung Api Karangetang kembali beraksi. Sebuah letusan dahsyat keluar dari mulutnya diikuti dengan semburan lahar panas dan material menerkam desa Kinali Kecamatan Sibarut. Mengakibatkan korban jiwa sebanyak empat orang, menyapu bersih akses transportasi darat dan dua buah jembatan yang menghubungkan desa-desa di Kecamatan Sibarut, serta memberangus ratusan pohon pala milik warga. Nestapa kembali dirasakan masyarakat Sitaro, seiring dengan kerugian materiil yang mencapai milyaran rupiah.

Bencana terus terjadi di tanah Karangetang Mandolokang Kolo-Kolo, kesedihan dan ratap tangis masyarakat kian menjadi. Di tengah kondisi seperti ini, para Wakil Rakyat malah berencana untuk mengadakan perjalanan dinas ke, Singapura. Lagi-lagi masyarakat harus menyaksikan kenyataan pahit dan tidak patut untuk dicontoh ini. Semakin sulit rasanya bagi publik untuk membaca jalan pikiran dari para legislator Sitaro ini.

Tak dapat disangkal ada banyak sekali agenda yang harus segera dituntaskan oleh lembaga milik rakyat ini. Termasuk agenda pembahasan sembilan Ranperda yang diusulkan oleh eksekutif pertengahan tahun 2010. Yang paling memprihatinkan adalah pembahasan Ranperda RTRW yang adalah Perda vital bagi daerah yang baru dimekarkan sampai sekarang ini nyatanya belum juga selesai dibahas oleh dua puluh legislator Sitaro. Belum lagi dengan Ranperda Penanggulangan Bencana dan Pelayanan Satu Atap, yang kesemuanya itu merupakan instrument urgent demi menjamin hajat hidup masyarakat banyak. Apakah dengan mengadakan perjalanan dinas ke luar negeri pembahasan Ranperda di atas akan semakin cepat selesai dibahas ? ataukah justru ini hanya kebijakan yang ditempuh oleh Wakil Rakyat untuk menghabiskan sisa anggaran tahun 2010.

Kepercayaan adalah hal yang sangat mahal dan sangat sukar dicari jaman sekarang ini. Demikian pula halnya dengan kepercayaan masyarakat Sitaro yang telah diberikan kepada para wakil rakyatnya. Harapan dan keinginan masyarakat untuk bisa melihat wakil rakyat yang mengerti dan memahami keadaan masyarakat nampaknya harus di balas dengan kebijakan yang tidak pro rakyat. Panjangnya antrian Ranperda yang menunggu giliran untuk di bahas seakan tidak dihiraukan oleh seluruh personil DPRD SITARO. Ketika ditanyakan soal ini, DPRD mengelak dengan menyatakan bahwa sebenarnya Ranperda tersebut memang belum mendesak, karena nanti akan masuk dalam tahun anggaran 2011. Lantas apakah ini yang menjadi alasan bagi DPRD SITARO harus mengadakan perjalanan dinas sampai ke Singapura?

Sampailah kita pada sebuah simpulan bahwa sebenarnya DPRD SITARO belum maksimal dalam menjalankan fungsinya. Pengawasan terhadap kinerja Eksekutif sangat lemah, mengingat ada sejumlah kesalahan dari beberapa SKPD yang di tolerir oleh DPRD. Sebut saja tentang gagalnya SKPD yang ada di Sitaro dalam memanfaatkan APBD yang menyebabkan banyaknya dana sisa. Dana yang seharusnya habis digunakan untuk kepentingan masyarakat ini, ternyata tidak bisa diberdayakan dengan maksimal oleh SKPD di ruang lingkup Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro.
Rapor jelek ini rupanya hendak dilengkapi para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah SITARO dengan mengagendakan perjalanan dinas keluar negeri. Informasi yang dirangkum redaksi Korakora, agenda perjalanan dinas ke luar negeri DPRD SITARO ini sementara dibahas dan akan segera ditetapkan tanggal dan anggarannya. Sungguh ironis jika dibandingkan dengan kondisi masyarakat SITARO yang sekarang ini menghadapi kehidupan yang serba sulit mengingat harga bahan pokok yang terus naik belum lagi potensi bencana alam yang tinggi membuat masyarakat menjadi trauma dan susah tidur.

Semoga ini semua bisa menjadi pertimbangan dari para Legislator bumi Karangetang Mandolokang Kolo-Kolo. Segala tugas dan tanggung jawab sebagai "penyambung lidah rakyat " kiranya bisa dilaksanakan dengan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. "Kami mengharapkan para Anggota Dewan bisa memperhatikan kami dan merasa senasib sepenggungan dengan kami masyarakat Sitaro", Tapi rupanya Parlemen SITARO banto, lemah syahwat. ujar Masmar Uling, warga Kampung Laghaeng.Ж

MENAKAR KUALITAS EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF SITARO

Performa kedua lembaga penyelenggara pemerintahan daerah di Kepulauan Sitaro menjadi sorotan berbagai kalangan. KORAKORA edisi kedua menyasar segmentasi ini setelah menyikapi beberapa aspek penting terkait dengan kualitas eksekutif dan legislative. Indikator yang menjadi alat ukur adalah aspek kompetensi dan kualifikasi personil yang terdapat di kedua lembaga dimaksud. Seperti apa hasilnya? Berikut ini penelusuran dan ulasan Korakora.


Pemilihan langsung kepala daerah pertama kali dilakukan pada tahun 2008 dan berhasil dimenangkan pasangan bupati dan wakil bupati Toni Supit dan Piet Hein Kuera dari PDI Perjuangan. Pasangan yang kalah tarung adalah Martinus Manoi dan Deni Tindas dari Partai Golkar. Setahun kemudian, pemilihan langsung anggota DPRD berhasil melahirkan komposisi parlemen: 9 orang dari PDI Perjuangan, 5 orang dari partai Golkar, 2 orang dari partai Gerindra, 1 orang dari partai Demokrat, 1 orang dari PDP, 1 orang dari Partai Barnas dan 1 orang dari partai PDS. Sedangkan bupati dan wakil bupati terpilih dibantu oleh tiga keasistenan dan sebanyak 18 SKPD. Tiga keasistenan meliputi asisten pemerintahan dan tata praja, asisten ekonomi dan pembangunan serta asisten administrasi umum dan kepegawaian. Masing-masing asisten memiliki tiga bagian yang secara operasional menyelenggarakan pekerjaan di sekretariat daerah. Selain itu terdapat 11 buah Dinas yang dipimpin oleh kepala-kepala dinas dan 6 buah badan yang dipimpin oleh kepala-kepala badan serta 4 buah kantor yang dipimpin oleh kepala-kepala kantor. Dengan demikian di jajaran eksekutif terdapat 38 orang yang sangat bertanggungjawab terhadap akselerasi pembangunan di Sitaro dan 20 orang personil legislative yang melakukan fungsi budgeting, legislasi serta pengawasan.

Dari segi kualifikasi yaitu jenjang pendidikan, perbandingan antara kedua lembaga ini menghasilkan komposisi sebagai berikut: di eksekutif terdapat 1 orang pejabat yang non gelar yaitu kepala bagian administrasi kesejahteraan social, Jantje Tumewu, terdapat 2 orang atau 5,26% berpendidikan diploma, terdapat 21 orang atau 55,26% berpendidikan Strata Satu, 13 orang atau 34,21% berpendidikan Strata Dua dan 1 orang atau 2,63% berpendidikan Strata Tiga. Dengan demikian secara kualifikasi, jajaran eksekutif Sitaro didominasi oleh para Sarjana Strata Satu dan Dua sehingga dinilai sangat memadai. Sedangkan di lembaga parlemen Sitaro, masih terdapat 8 orang atau 40% berpendidikan SMA, 1 orang atau 5% berpendidikan Diploma, 9 orang atau 45% berpendidikan Strata Satu dan 2 orang atau 10% berpendidikan Strata Dua. Artinya, kualifikasi pendidikan sarjana di tubuh parlemen belum mencapai 50% atau masih didominasi oleh personil berkualitas pendidikan SMA dan Strata Satu yang masih dikategorikan baru. Dapat disimpulkan bahwa DPRD Sitaro masih lebih lemah dari segi kualifikasi pendidikan dibandingkan dengan eksekutif.

Dari segi kompetensi yaitu pengalaman dalam jabatan, di parlemen Sitaro hanya terdapat dua orang atau 10% yang mempunyai pengalaman lebih dari 5 tahun menjabat sebagai wakil rakyat sedangkan 18 orang lainnya atau 90% adalah wajah baru di dunia legislasi. Menariknya, di tubuh parlemen terdapat 40% personil memiliki pengalaman sebagai pedagang dan kurang dari 40% adalah politisi/praktisi partai politik. Sedangkan kompetensi lebih dari 5 tahun menjabat dalam tubuh eksekutif terdapat 8 orang atau 21,05% yang memiliki pengalaman lebih dari 5 tahun sedangkan sisanya 78,95% memiliki pengalaman menjabat kurang dari 5 tahun.

Kondisi semacam ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap akselerasi pembangunan di kabupaten kepulauan Sitaro. Kinerja pemerintahan dapat menjadi lemah dan mendorong pihak pemerintah untuk terus menerus mengambil tenaga professional dari luar daerah atau sangat memungkinkan bagi pihak pemerintah provinsi memberikan pertimbangan untuk menempatkan pejabat teknis yang dinilai kapabel ditempatkan di Sitaro.

Lalu apa respon warga Sitaro menyikapi persoalan ini? Menurut Hengky Tompo, pria kelahiran Siau yang bekerja sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi di pulau Jawa itu mengatakan, Sitaro memerlukan pendekatan civil society untuk memperkuat masyarakat dalam konteks pemberdayaan sosial agar stabilitas dapat tetap terpelihara. Biasanya dalil yang umum berlaku dalam perkembangan sebuah masyarakat, dimana pemerintahannya lemah, maka kekuatan civil society akan muncul sebagai kekuatan alternatif. Kekuatan tersebut dapat melakukan dua fungsi sekaligus baik fungsi yang melekat pada parlemen maupun fungsi selaku agen pembangunan. Hanya saja, masyarakat perlu diarahkan dan didampingi oleh para pekerja-pekerja social yang memiliki komitmen tinggi guna pembangunan bukan untuk kepentingan individu atau merebut kekuasaan dalam konteks politik praktis.