Jumat, 17 September 2010

KOMOLANG BOBATUNG DATU

Oleh: Dirno Kaghoo

Jauh berabad-abad yang lalu, sebelum Negara bangsa yang bernama Indonesia dikenal di seluruh Nusantara, di jazirah utara nusa utara telah lahir sebuah tatanan pemerintahan yang tergolong unik. Tatanan pemerintahan sebuah komunitas lokal terbatas di bawah kaki gunung Karangetang yang diyakini ditunggui oleh Ampuang Tatetu sebagai penguasa mutlak komunitas dibawah bimbingan Aditinggi dan Mawendo.

Kedatuan bukanlah sebuah system pemerintahan layaknya kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja. Kedatuan di Siau dipimpin oleh seorang datu. Seorang datu biasanya adalah seorang laki-laki (patrialis) yang diberikan kepercayaan memimpin komunitas berdasarkan hubungan darah dari datu-datu sebelumnya. Datu pertama Kedatuan Siau adalah Lokongbanua anak dari Mokodaludu yang berasal dari Kerajaan Kaidipan di Bolaang Mongondow. Lokongbanua memerintah sejak tahun 1510 dengan tatanan pemerintahan yang sangat sederhana.

Pada waktu lalu konsep kekuasaan tidaklah total dipahami sebagai kekuasaan kewilayahan dalam pemahaman kini. Kala itu, kekuasaan dominan terkait dengan kemampuan membentuk kekuatan bersenjata yang mobile demi merebut kendali atas perdagangan tenaga kerja budak dan monopoli atas produk-produk dagang lain. Sedang, kekuasaan menurut Evelyn Tan Cullamar dalam tulisannya ‘’Migration Across Sulawesi Sea” dibangun atas relasi orang atau tokoh lain. Aliansi politik dibangun dominan dengan kawin-mawin di antara para elit pemimpin.

Dalam sistem pemerintahan kedatuan, menurut dokumen dari Kedatuan Tabukan tahun 1927, jabatan setingkat di bawah raja adalah, jogugu. Sedangkan di tingkat kampung ada pemimpin yang disebut kapitalaung (di Sangihe) atau apitalau (di Talaud) dan kapitalau (di Sitaro).

Di kawasan SaTaS diartikan sebagai jabatan pemimpin orang banyak (lawo) atau pemimpin untuk sebuah ikatan (lawung= ikatan) atau lau (himpunan berbagai campuran) diberikan pada pemuka masyarakat yang karena kecakapannya mampu mengikat atau mempersatukan masyarakat sebagai satu kesatuan hukum; memelihara keutuhan serta adat. Di bawah kapitalaung ada hukum mayor dan hukum. Di kampung juga ada jabatan yang menangani urusan pengadilan, yaitu disebut kapitan bisara, yaitu jaksa. Kewajibannya adalah menyampaikan dakwaan dan membawa terdakwa ke hadapan majelis pengadilan. Untuk urusan mengadili dipilih seorang hukum mayor yang dilantik menjadi hulu hakim majelis, sedang raja, jogugu, kapitanglaung, hukum mayor serta hukum, berlaku sebagai anggota majelis. Kemudian hari dokumen Belanda Mededelingen 1912 membeberkan kuasa pengadilan dipegang semata oleh raja dan penguasa kolonial.

Adapula jabatan yang secara khusus mengelola pelabuhan, bergelar syahbandare. Pejabat ini mengatur lalu lintas masuk-keluar kapal. Termasuk, menjemput tamu sekaligus menghadapi segala bahaya yang masuk via pelabuhan. Jabatan syahbandar ini, pertama, diduga merupakan pengaruh sistem pengelolaan pelabuhan yang diadopsi dari kerajaan-kerajaan Islam-Melayu, semacam Malaka yang memang paling terkenal dan menjadi patron perdagangan Nusantara sebelum kedatangan Portugis. Kata ini bisa saja diserap via Ternate di Tabukan. Pemakaian kata itu merupakan bukti kuat pengaruh jaringan dagang ke Malaka. Di samping jabatan penguasa pelabuhan itu, kerajaan juga mempunyai bala tentara yang biasanya dikepalai pangeran dan diberi gelar mayore labo atau mayor besar. Di bawahnya ada mayore (mayor), kapita (kapten), lutunani (letnan), ondore adidang (ajudan), aliparese (pembawa bendera), sariang mayore (sersan mayor), sariang dan kaparale (kopral). Khusus dalam istana Tabukan ada jabatan kapitaratu (kepala rumah tangga istana) dan keneke (juru rasa makanan). Juga ada barisan dayang-dayang yang disebut gunde yang dikepalai pangantaseng. Sedang di tingkat kampung, ada jabatan hakim pemisah, mantri polisi, pemungut cukai, mandor jalan, mantri kerajaan dan ibu-bapa bagi rakyat.

Di Kedatuan Siau ditemukan struktur dan susunan (hirarki) pemerintahan yang secara garis besar serupa dengan yang di Tabukan. Kecuali, sejak tahun 1592, sekembali dari pengungsian di Ternate serta demi menghindari terulangnya serangan pasukan Mindanao sebelumnya, Raja Winsulangi melakukan reformasi pemerintahan.

H.B. Elias, ‘’Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia di Siau” mengurai langkah-langkah reformasi itu:

Pertama, raja Winsulangi membentuk sebuah dewan pemerintahan tertinggi dengan nama Komolang Bubatong Datu (Majelis Kedatuan Siau). Anggotanya terdiri dari keluarga raja dan bangsawan namun juga keterwakilan tokoh-tokoh masyarakat terkemuka. Dewan dipimpin oleh Presiden Raja yang terus berhubungan dengan Raja dalam pemerintahannya dari hari ke hari. Dewan ini berkewenangan bersidang menentukan dan mengangkat raja. Pada kasus Raja tidak ada dalam jangka lama atau berhalangan, dewan dapat mengambil inisiatif mengangkat Presiden Pengganti Raja. Ini hanya berlaku dalam keadaan genting dan jarang terjadi. Dewan itu jelaslah menjadi sarana bagi rakyat untuk ikut serta dalam berbagai urusan pemerintahan. Memang Don Jeronimo Winsulangi berniat agar pemerintahan Siau jangan jadi despot dan penguasa tunggal. Karena dewan ini H.B. Elias menyatakan sifat kerajaan sudah konstitusionale monarchi meski sebenarnya itu akibat kebijakan pemerintahan Portugis.

Kedua, setelah berkonsultasi dengan orang-orang Spanyol raja membentuk pertahanan kerajaan, yaitu angkatan perang darat dan laut. Angkatan darat terdiri dari pasukan kompania, upase dan alabadiri. Kompania adalah tentara biasa, sedangkan upase adalah pengawal raja dan labadiri tentara pengawal istana. Pangkat-pangkatnya sama dengan yang ditemukan di Tabukan, dengan bahasa Porto atau Spanyol. Sedang angkatan lautnya terdiri dari armada perahu perang bininta, konteng dan kora-kora. Angkatan laut dipimpin seorang laksamana, yang saat itu dijabat Laksamana Hengkeng u Naung yang terkenal karena penjelajahannya dari Filipina hingga Leok Buol dengan beberapa daerah tundukan dan wilayah sahabat. Bahkan pernah mengusir pasukan armada Makassar dari Bolaang Mongondow seperti pernah ditulis beberapa penulis Eopa dan H.M. Taulu. Tak heran H.B.Elias dalam bukunya juga menyebut Siau imperium dalam format kecil.

Ketiga, Raja menciptakan panji-panji atau bendera kerajaan. Warnanya secara khusus diturunkan dari dua warna tradisional dalam ritual Siau pada dewa laut (Mawendo) dan darat (Aditinggi), yaitu masing-masing warna merah dan putih. Dua warna ini bagi masyarakat Siau bersifat sakral. Mungkin, karena itu perjuangan kemerdekaan Indonesia yang mengusung simbol merah putih Indonesia dengan cepat dan konsisten direspon pejuang-pejuang Indonesia asal Siau yang menjadi partner Soekarno di PNI semacam G.E. Dauhan dan diteruskan para tokoh lain sesudahnya semacam Esly Salekede. Panji-panji kerajaan Siau ciptaan Winsulangi itu, tampil dalam tiga ukuran dan bentuk. Semuanya disebut sebagai seka-saka. Bendera itu berwarna merah yang dikelilingi bis putih. Bendera ini dipakai terus sampai zaman Belanda. Karena bendera ini, suatu ketika Raja Jacob Ponto dibuang Belanda ke Cirebon. Maklum raja ini tidak mau menurunkan bendera berukuran 80x80 cm di depan istananya. Setelah pembuangannya, Belanda sama sekali melarang pengibaran bendera sejenis itu di Siau. Meski demikian, angkatan perang Siau terus memakainya. Terbukti saat Raja L.N. Kansil yang berangkat ke Tahuna pada tahun 1923 untuk menghadiri perayaan jubelium perak (25 tahun) pemerintahan Ratu Wilhemina. Raja ini memakai bendera itu di perahu kora-koranya dan dengan megah memasuki pelabuhan Tahuna serta disambut secara resmi kala acara itu.

Keempat, urusan pemerintahan diserahkan sepenuhnya kepada Jogugu, yang ketika itu dijabat D’Arras (Darras) yang juga adalah ketua presidenti raja. Perpaduan D’Arras dengan Hengkeng U Naung (atau Hengkengnaung) menghasilkan perluasan wilayah Siau dan penumpasan bajak-bajak laut Mindanao di Laut Sulawesi.

Kelima, supaya mendapat kemajuan yang cepat maka para putera kerajaan (Pangeran Batahi) disekolahkan di universitas di Manila di intramuros.
Adapun struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di kawasan Sangihe-Talaud-Sitaro secara umum dirangkum Steller dalam De Sangi Archipel dengan susunan meliputi jabatan-jabatan: Raja Dibantu Bobato (rijksgroten) atau pembesar istana atau Dewan Raja atau Presidenti Raja; Jogugu, Presidenti Jogugu (tidak selalu ada); Kapten Laut, Mayore Labo, Hukum Mayore, Sadaha Negeri, Kapitan Bisara, Sengaji Kumelaha, Sawohi, Sahbandar,

Marinyo Bisara, Marinyo Bala, Marinyo. Sekilas praktik pemerintahannya tidak mengacu pemisahan cabang-cabang kekuasaan atau trias politica, namun mencampurkan cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Meskipun demikian mulai ada pelibatan rakyat dalam kontrol kekuasaan yaitu dalam badan atau dewan raja yang memberi masukan bahkan mengontrol raja. Kontrol itu sangat disadari di Siau sejak Raja Winsulangi. Negara juga diperlengkapi aparatus militer detil, yaitu angkatan darat dan laut. Dua angkatan ini jelas terkait dengan kebutuhan keamanan dan pertahanan dari berbagai ancaman zaman itu, sekaligus menjadi bukti orientasi maritim kala itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar