Jumat, 17 September 2010

MENAKAR KUALITAS EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF SITARO

Performa kedua lembaga penyelenggara pemerintahan daerah di Kepulauan Sitaro menjadi sorotan berbagai kalangan. KORAKORA edisi kedua menyasar segmentasi ini setelah menyikapi beberapa aspek penting terkait dengan kualitas eksekutif dan legislative. Indikator yang menjadi alat ukur adalah aspek kompetensi dan kualifikasi personil yang terdapat di kedua lembaga dimaksud. Seperti apa hasilnya? Berikut ini penelusuran dan ulasan Korakora.


Pemilihan langsung kepala daerah pertama kali dilakukan pada tahun 2008 dan berhasil dimenangkan pasangan bupati dan wakil bupati Toni Supit dan Piet Hein Kuera dari PDI Perjuangan. Pasangan yang kalah tarung adalah Martinus Manoi dan Deni Tindas dari Partai Golkar. Setahun kemudian, pemilihan langsung anggota DPRD berhasil melahirkan komposisi parlemen: 9 orang dari PDI Perjuangan, 5 orang dari partai Golkar, 2 orang dari partai Gerindra, 1 orang dari partai Demokrat, 1 orang dari PDP, 1 orang dari Partai Barnas dan 1 orang dari partai PDS. Sedangkan bupati dan wakil bupati terpilih dibantu oleh tiga keasistenan dan sebanyak 18 SKPD. Tiga keasistenan meliputi asisten pemerintahan dan tata praja, asisten ekonomi dan pembangunan serta asisten administrasi umum dan kepegawaian. Masing-masing asisten memiliki tiga bagian yang secara operasional menyelenggarakan pekerjaan di sekretariat daerah. Selain itu terdapat 11 buah Dinas yang dipimpin oleh kepala-kepala dinas dan 6 buah badan yang dipimpin oleh kepala-kepala badan serta 4 buah kantor yang dipimpin oleh kepala-kepala kantor. Dengan demikian di jajaran eksekutif terdapat 38 orang yang sangat bertanggungjawab terhadap akselerasi pembangunan di Sitaro dan 20 orang personil legislative yang melakukan fungsi budgeting, legislasi serta pengawasan.

Dari segi kualifikasi yaitu jenjang pendidikan, perbandingan antara kedua lembaga ini menghasilkan komposisi sebagai berikut: di eksekutif terdapat 1 orang pejabat yang non gelar yaitu kepala bagian administrasi kesejahteraan social, Jantje Tumewu, terdapat 2 orang atau 5,26% berpendidikan diploma, terdapat 21 orang atau 55,26% berpendidikan Strata Satu, 13 orang atau 34,21% berpendidikan Strata Dua dan 1 orang atau 2,63% berpendidikan Strata Tiga. Dengan demikian secara kualifikasi, jajaran eksekutif Sitaro didominasi oleh para Sarjana Strata Satu dan Dua sehingga dinilai sangat memadai. Sedangkan di lembaga parlemen Sitaro, masih terdapat 8 orang atau 40% berpendidikan SMA, 1 orang atau 5% berpendidikan Diploma, 9 orang atau 45% berpendidikan Strata Satu dan 2 orang atau 10% berpendidikan Strata Dua. Artinya, kualifikasi pendidikan sarjana di tubuh parlemen belum mencapai 50% atau masih didominasi oleh personil berkualitas pendidikan SMA dan Strata Satu yang masih dikategorikan baru. Dapat disimpulkan bahwa DPRD Sitaro masih lebih lemah dari segi kualifikasi pendidikan dibandingkan dengan eksekutif.

Dari segi kompetensi yaitu pengalaman dalam jabatan, di parlemen Sitaro hanya terdapat dua orang atau 10% yang mempunyai pengalaman lebih dari 5 tahun menjabat sebagai wakil rakyat sedangkan 18 orang lainnya atau 90% adalah wajah baru di dunia legislasi. Menariknya, di tubuh parlemen terdapat 40% personil memiliki pengalaman sebagai pedagang dan kurang dari 40% adalah politisi/praktisi partai politik. Sedangkan kompetensi lebih dari 5 tahun menjabat dalam tubuh eksekutif terdapat 8 orang atau 21,05% yang memiliki pengalaman lebih dari 5 tahun sedangkan sisanya 78,95% memiliki pengalaman menjabat kurang dari 5 tahun.

Kondisi semacam ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap akselerasi pembangunan di kabupaten kepulauan Sitaro. Kinerja pemerintahan dapat menjadi lemah dan mendorong pihak pemerintah untuk terus menerus mengambil tenaga professional dari luar daerah atau sangat memungkinkan bagi pihak pemerintah provinsi memberikan pertimbangan untuk menempatkan pejabat teknis yang dinilai kapabel ditempatkan di Sitaro.

Lalu apa respon warga Sitaro menyikapi persoalan ini? Menurut Hengky Tompo, pria kelahiran Siau yang bekerja sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi di pulau Jawa itu mengatakan, Sitaro memerlukan pendekatan civil society untuk memperkuat masyarakat dalam konteks pemberdayaan sosial agar stabilitas dapat tetap terpelihara. Biasanya dalil yang umum berlaku dalam perkembangan sebuah masyarakat, dimana pemerintahannya lemah, maka kekuatan civil society akan muncul sebagai kekuatan alternatif. Kekuatan tersebut dapat melakukan dua fungsi sekaligus baik fungsi yang melekat pada parlemen maupun fungsi selaku agen pembangunan. Hanya saja, masyarakat perlu diarahkan dan didampingi oleh para pekerja-pekerja social yang memiliki komitmen tinggi guna pembangunan bukan untuk kepentingan individu atau merebut kekuasaan dalam konteks politik praktis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar